Jumat, 17 Februari 2012

Siapa Sebenarnya Yang Menang


Oleh Abdullah Wong


(Si)apa sebenarnya yang menang? Apakah untuk memenangkan sesuatu kita membutuhkan teanaga layaknya seorang petarung? Jika diperhatikan dengan seksama, selama ini ungkapan kemenangan selalu identik dengan hasil akhir dari proses penaklukan terhadap sesuatu. Sehingga ihwal kemenangan acapkali berkait dengan pencapaian prestasi, perolehan keuntungan hingga penaklukan atas manusia atau obyek lain. Jika pemahaman ini dipahami, maka proses kemenangan sangat reduktif, yakni dalam persoalan fisik dan pikiran semata. Agaknya, kita lupa satu hal yang sangat penting dalam diri kita, tapi selalu saja kita kalahkan. Itulah hati (Qalb).

Dalam hidup, kita seringkali lebih sering memenangkan ego ketimbang hati. Apa pun yang berlangsung adalah bagaimana memuaskan diri sendiri. Kita lupa, bahwa kebahagiaan sejati adalah ketika kita berkesempatan membahagiakan orang lain. Dan selama berbuat baik dan membahagiakan orang lain, tidak ada logika agama yang menuntuk agar kita harus dibalas dengan kebaikan pula oleh orang yang kita perlakukuan baik itu. Bukankah menurut menurut Al_Quraan kita diciptakan tak lain hanya untuk mengabdi kepada-Nya? Maka, berbuat baik kepada seluruh semesta (rahmatan lil'alamin) adalah tugas kita. Tapi, bagaimana balasan orang lain terhadap kita, bukan urusan kita? Mencintai istri, sahabat, atau saudara kita adalah tugas kita, tapi bagaimana timbal balik mereka kepada kita jangan dijadikan tuntutan. Karena, jika kita mengharap balasan dari mereka, kita seringkali dikecewakan.

Jika kita punya keyakinan bahwa yang mesti kita cari itu bernama bahagia, maka jujurlah bahwa tak ada bahagia yang abadi di bumi ini. Jika kita punya keyakinan bahwa yang mesti kita hindari dan kita tolak bernama susah atau derita, maka jujurlah dalam hati bahwa tak ada kesusahan atau derita yang berlangsung selamanya.
Masing-masing keduanya, datang silih berganti sebagai keutuhan kehidupan. Apa yang disebut bahagia atau susah setiap orang pasti merasakan. Tak hanya orang kaya yang dapat merasa bahagia, tapi seluruh umat manusia. Tak peduli miskin, bodoh, kuli, pegawai rendah, bahkan gembel sekali pun. Jika orang kaya merasa bahagia ketika berhasil membangun supermarket, maka si misikin bahagia ketika dia berhasil menyelesaikan pekerjaannya. Sementara si gembel merasa bahagia ketika dia berhasil mengumpulkan sampah-sampah. Tentu saja, rasa bahagia itu sama, yang membedakan hanya obyek atau hal yang membuat bahagia. Inilah di antara prinsip Allah.

Susah dan senang adalah kurikulum Allah yang selalu dihamparkan kepada setiap hamba-Nya. Mestinya kita selalu menerima pada setiap ketentuan yang Allah berikan. Bukankah menerima dengan kesungguhan hati merupakan prinsip utama islam yang berarti pasrah?

Masihkah kita mati-matian mengejar sesuatu yang tidak kekal? Bukankah hanya Allah semata yang Maha Kekal? Tapi mengapa kita masih mati-matian mencari atau menghindari sesuatu jika sebenarnya semua itu adalah pembelajaran dari-Nya? Mengalirlah dengan wajar dan alami. Belajarlah pada air yang rendah hati, berlapanglah seperti samudera, dan bersemangatlah menerima segala pelajaran dari-Nya seperti api yang tak kunjung padam. Akhirnya, (si)apa sebenarnya yang kita menangkan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar