Oleh Abdullah Wong
(Si)apa sebenarnya yang menang? Apakah
untuk memenangkan sesuatu kita membutuhkan teanaga layaknya seorang
petarung? Jika diperhatikan dengan seksama, selama ini ungkapan
kemenangan selalu identik dengan hasil akhir dari proses penaklukan
terhadap sesuatu. Sehingga ihwal kemenangan acapkali berkait dengan
pencapaian prestasi, perolehan keuntungan hingga penaklukan atas
manusia atau obyek lain. Jika pemahaman ini dipahami, maka proses
kemenangan sangat reduktif, yakni dalam persoalan fisik dan pikiran
semata. Agaknya, kita lupa satu hal yang sangat penting dalam diri
kita, tapi selalu saja kita kalahkan. Itulah hati (Qalb).
Dalam hidup, kita seringkali lebih
sering memenangkan ego ketimbang hati. Apa pun yang berlangsung
adalah bagaimana memuaskan diri sendiri. Kita lupa, bahwa kebahagiaan
sejati adalah ketika kita berkesempatan membahagiakan orang lain. Dan
selama berbuat baik dan membahagiakan orang lain, tidak ada logika
agama yang menuntuk agar kita harus dibalas dengan kebaikan pula oleh
orang yang kita perlakukuan baik itu. Bukankah menurut menurut
Al_Quraan kita diciptakan tak lain hanya untuk mengabdi kepada-Nya?
Maka, berbuat baik kepada seluruh semesta (rahmatan lil'alamin)
adalah tugas kita. Tapi, bagaimana balasan orang lain terhadap kita,
bukan urusan kita? Mencintai istri, sahabat, atau saudara kita adalah
tugas kita, tapi bagaimana timbal balik mereka kepada kita jangan
dijadikan tuntutan. Karena, jika kita mengharap balasan dari mereka,
kita seringkali dikecewakan.
Jika kita punya keyakinan bahwa yang
mesti kita cari itu bernama bahagia, maka jujurlah bahwa tak ada
bahagia yang abadi di bumi ini. Jika kita punya keyakinan bahwa yang
mesti kita hindari dan kita tolak bernama susah atau derita, maka
jujurlah dalam hati bahwa tak ada kesusahan atau derita yang
berlangsung selamanya.
Masing-masing keduanya, datang silih
berganti sebagai keutuhan kehidupan. Apa yang disebut bahagia atau
susah setiap orang pasti merasakan. Tak hanya orang kaya yang dapat
merasa bahagia, tapi seluruh umat manusia. Tak peduli miskin, bodoh,
kuli, pegawai rendah, bahkan gembel sekali pun. Jika orang kaya
merasa bahagia ketika berhasil membangun supermarket, maka si misikin
bahagia ketika dia berhasil menyelesaikan pekerjaannya. Sementara si
gembel merasa bahagia ketika dia berhasil mengumpulkan
sampah-sampah. Tentu saja, rasa bahagia itu sama, yang membedakan
hanya obyek atau hal yang membuat bahagia. Inilah di antara prinsip
Allah.
Susah dan senang adalah kurikulum Allah
yang selalu dihamparkan kepada setiap hamba-Nya. Mestinya kita selalu
menerima pada setiap ketentuan yang Allah berikan. Bukankah menerima
dengan kesungguhan hati merupakan prinsip utama islam yang berarti
pasrah?
Masihkah kita mati-matian mengejar
sesuatu yang tidak kekal? Bukankah hanya Allah semata yang Maha
Kekal? Tapi mengapa kita masih mati-matian mencari atau menghindari
sesuatu jika sebenarnya semua itu adalah pembelajaran dari-Nya?
Mengalirlah dengan wajar dan alami. Belajarlah pada air yang rendah
hati, berlapanglah seperti samudera, dan bersemangatlah menerima
segala pelajaran dari-Nya seperti api yang tak kunjung padam.
Akhirnya, (si)apa sebenarnya yang kita menangkan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar