Selasa, 21 Februari 2012

Citra Indonesia


Oleh : Ippho Santosa

             Untuk mengetahui citra Indonesia di mata dunia, simaklah cerita selingan berikut.
Alkisah, di atas kapal kecil di tengah laut, berbincang-bincanglah tiga orang penumpang. Kebetulan mereka berasal dari Indonesia, Malaysia, dan Amerika.
“Sepertinya, kapal kita bakal tenggelam. Mungkin karena muatannya terlalu berat,” si Malaysia memulai percakapan.
“Wah kalau begitu, kita harus mengurangi muatan,” usul si Indonesia.
“Jangan khawatir, teman-teman,” sahut si Amerika sambil berdiri. “Saya membawa setumpuk celana jins dari Amerika. Semuanya akan saya buang ke laut. Di Negara saya, yang seperti itu sih banyak. Murah-murah lagi.” Setumpuk celana jins pun dibuang oleh si Amerika ke laut.
Beberapa menit kemudian, si Malasyia kembali berkata, “Kapal ini masih mungkin tenggelam. Rupa-rupanya, muatannya masih terlalu berat.”
“Jangan khawatir, teman-teman,” giliran si Indonesia yang menjawab seraya berdiri. “Saya membawa setumpuk baju batik dari Indonesia. Semuanya akan saya buang ke laut. Di Negara saya, yang seperti itu sih banyak. Murah-murah lagi.” Setumpuk baju batik pun di buang oleh si Indonesia ke laut.
Ternyata kapal kecil itu tetap saja terancam tenggelam, karena memang muatannya terlalu berat. Langsung saja si Malasyia dilirik oleh si Amerika maupun si Indonesia. Si Malaysia pun tahu diri. Serta merta ia berdiri.
“Mohon maaf, saya tidak membawa apa-apa,” ujar si Malasyia. “Tetapi saya tidak akan tinggal diam.” Usai bicara, tiba-tiba saja si Malaysia mendorong si Indonesia sehingga jatuh ke laut.
“Hei, mengapa si Indonesia didorong ke Laut?” ungkap si Amerika dengan penuh keheranan.
“Jangan khawatir, teman,” balas si Malasyia dengan tenang, “Di Negara saya, yang seperti itu sih banyak. Murah-murah lagi.”
Tahan tertawa anda! Demikianlah merek Indonesia sering menjadi bahan olok-olok, baik dalam keseharian maupun dalam bisnis. Sudah tiba saatnya merek Indonesia dipoles habis-habisan. Istilahnya grand repositioning. Oleh karena itu di sini hanya akan mengulas merek sebuah daerah. Adapun studi kasusnya adalah Batam --- salah satu kota paling dinamis di Asia Tenggara.
Bukan rahasia lagi, mayoritas penduduk Batam adalah pendatang, yang berasal dari berbagai penjuru tanah air, baik dari Kepulauan Riau, Sumatra, Jawa, Kalimantan maupun Indonesia Timur. Suka atau tidak suka, tentu saja masing-masing etnis mengusung etnis mengusung kulturnya sendiri. Ketika segelintir pihak mencemaskan keragaman etnis dan kultur ini sebagai benih-benih perpecahan (weakness). Malah sebaliknya. Sungguhan! Bukankah keragaman ini dapat menjadi nilai jual wisata (strength).
Agak mirip dengan Amerika Serikat. … . Barangkali Amerika terlalu jauh untuk kita. Baiklah, penulis ambil Malasyia sebagai pembanding. Saya berani bertaruh sebenarnya pembauran etnis di Indonesia jauh lebih membumi ketimbang di Malasyia. Namun, dari segi pemanfaatan keragaman etnis dan kultur sebagai nilai jual wisata, penulis yakin kita masih harus belajar dari mereka. Nggak percanya?


Beberapa tahun terakhir, mereka sibuk memasarkan merek Malasyia dengan slogan Truly Asia (Asia yang Sesungguhnya) ke seluruh pelosok dunia. Sekian tahun penulis kuliah dan berkarir di sana, menyadarkan penulis bahwa slogan itu sangatlah cerdas. Ya iyalah. Bukankah setiap kali diperdengarkan kata “Asia” di telinga orang barat, maka terbayang di benak mereka seorang berbangsa China, India, atau Melayu? Bagi orang barat, Asia sangat identik dengan ketiga etnis ini, baik dari segi fisik, kultur, maupun bahasanya, Iya ‘kan?
Kebetulan China, India, dan Melayu adalah tiga etnis yang sangat dominan di Malasyia. Jadi apabila warga dunia ingin bersua dengan etnis China, maka merek Malasyia wajib dipertimbangkan. Apabila warga dunia ingin menyaksikan kultur India, Maka merek Malasyia wajib dipertimbangkan. Apabila warga dunia ingin menyimak percakapan berbahasa Melayu, maka merek Malasyia wajib dipertimbangkan.
Dengan kata lain, Malasyia adalah potret Asia yang sejati. Etnis China, India, Melayu yang terkesan begitu meng-Asia, ternyata semuanya dapat ditemukan di  Malasyia. Maka lahirlah slogan Truly Asia. Begitulah ceritanya. Tak pelak lagi, keragaman etnis dan kultur berhasil menguatkan  merek Malasyia. Bahkan sekarang merek Malasyia diakui sebagai salah satu merek wisata terdepan di Asia. (wisatawannya 17 juta. Padahal penduduknya Cuma 20-an juta. Sebuah rasio yang mencengangkan)



Nah, penduduk Batam patut bersyukur. Kenapa? Yah, karena beragam etnis dan kultur berkumpul disana. Katakanlah, Malaysia(China-India-Melayu), Padang, Batak, Jawa, Sunda, Betawi, Flores, Teochew, Hokkian, Kek, Indonesia Timur dan masih banyak lagi. Pendek kata, hamper semua etnis, kultur, dan agama besar di Indonesia terwakili di Batam---nyaris secara proporsional. …
Hebatnya lagi, kendati etnis dan kulturnya bergam, masyarakatnya tetap rukun (tidak rusuh). Boleh dikatakan, di sana tidak ada kebencian dan kecemburuan yang berarti. Itu betul, di Batam ketika si miskin melihat si kaya, ia akan berguman, “Suatu saat saya akan seperti dia!” Sementara di kota-kota tertentu, ketika si miskin melihat si kaya, ia akan bergumam, “Suatu hari nanti, saya akan habisi dia!” yah, pantas saja rusuh, tidak rukun.







Sementara itu, secara geografis, Batam merupakan titik terluar dari segi Indonesia yang bersinggungan langsung dengan sejumlah Negara. Sekadar catatan, perjalanan laut dari Batam ke Singapura dan Malasyia hanya memakan waktu sekitar dua jam. Oleh karena itu wajar apabila Batam bertindak sebagai representasi Indonesia. Lagi pula di Batam sudah berdiri Sumatera Promotion Centre (Pusat pemasaran provinsi-provinsi se-Sumatra).
Didukung oleh tiga fakta tersebut, maka penulis pilihkan satu slogan, yaitu Batam, A Face of Indonesia (Batam, wajahnya Indonesia). Yah, penulis tidak menemukan slogan lain yang lebih pas dan lebih pantas. Dan barangkali bias diteruskan dengan kalimat deskriptif,
experience the diversity of Indonesia by visiting Batam 
(nikmati keragaman Indonesia dengan berkunjung ke Batam).





Selanjutnya, agar tidak mengecawakan, haruslah ada kesesuaian antara pernyataan dengan kenyataan. Dengan kata lain, pernyataan itu perlu dinkonkretkan, dimana keragaman yang telanjur dimiliki mesti divisualisasikan melalui ikon dan aktivitas budaya. Amatilah Singapura! Dari segi budaya, mereka tidaklah sekaya Malasyia dan Amerika. Akan tetapi, apakah kita melihat Singapura sebagai Negara yang minus budaya? Hm, penulis tidak memandangnya begitu.


Selang beberapa hari di Singapura, ada-ada saja perhelatan budaya yang dipertunjukan. Dan ini menjadi salah satu alas an mengapa hamper 10 juta pelancong mancanegara bertandang ke sana tiap tahunnya. Padahal penduduknya sekitar 4 juta jiwa. Sebagai merek wisata, Singapura terhitung berhasil. Bandingkan saja, Indonesia hanya mampu mendatangkan sekitar 5 juta pelancong dalam setahun. Tahu sendiri kan, penduduk Indonesia lebih dari 230 juta jiwa.
Mari kita renungkan sebentar! Penulis yakin Anda akan sependapat bahwa daripada Singapura sebenarnya Batam memendam harta karun budaya yang lebih melimpah. PR kita bersama hanyalah menggalinya, sehingga memungkinkan objek wisata yang enjoyable dan penduduk yang sociable. Tentu saja, harus dilengkapi dengan infratrukstur yang visitable dan lingkungan yang confortable.
Menurut penulis, dalam rangka membangun merek Batam, sudah tiba saatnya pemerintah setempat menjadi inisiatornya. Yah siapa lagi? Karena memang pemerintah yang memiliki resources dan wewenang untuk mengarahkan segenap lapisan. Apalagi dengan adanya UU Nomor22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah. Lazimnya, pihak lain Cuma bias bersinergi ketika diminta. Begitulah, 
Batam, A Face of Indonesia.


Sumber: 10 Jurus TERLARANG! Kok Masih Mau Bisnis Cara Biasa?

Jumat, 17 Februari 2012

Siapa Sebenarnya Yang Menang


Oleh Abdullah Wong


(Si)apa sebenarnya yang menang? Apakah untuk memenangkan sesuatu kita membutuhkan teanaga layaknya seorang petarung? Jika diperhatikan dengan seksama, selama ini ungkapan kemenangan selalu identik dengan hasil akhir dari proses penaklukan terhadap sesuatu. Sehingga ihwal kemenangan acapkali berkait dengan pencapaian prestasi, perolehan keuntungan hingga penaklukan atas manusia atau obyek lain. Jika pemahaman ini dipahami, maka proses kemenangan sangat reduktif, yakni dalam persoalan fisik dan pikiran semata. Agaknya, kita lupa satu hal yang sangat penting dalam diri kita, tapi selalu saja kita kalahkan. Itulah hati (Qalb).

Dalam hidup, kita seringkali lebih sering memenangkan ego ketimbang hati. Apa pun yang berlangsung adalah bagaimana memuaskan diri sendiri. Kita lupa, bahwa kebahagiaan sejati adalah ketika kita berkesempatan membahagiakan orang lain. Dan selama berbuat baik dan membahagiakan orang lain, tidak ada logika agama yang menuntuk agar kita harus dibalas dengan kebaikan pula oleh orang yang kita perlakukuan baik itu. Bukankah menurut menurut Al_Quraan kita diciptakan tak lain hanya untuk mengabdi kepada-Nya? Maka, berbuat baik kepada seluruh semesta (rahmatan lil'alamin) adalah tugas kita. Tapi, bagaimana balasan orang lain terhadap kita, bukan urusan kita? Mencintai istri, sahabat, atau saudara kita adalah tugas kita, tapi bagaimana timbal balik mereka kepada kita jangan dijadikan tuntutan. Karena, jika kita mengharap balasan dari mereka, kita seringkali dikecewakan.

Jika kita punya keyakinan bahwa yang mesti kita cari itu bernama bahagia, maka jujurlah bahwa tak ada bahagia yang abadi di bumi ini. Jika kita punya keyakinan bahwa yang mesti kita hindari dan kita tolak bernama susah atau derita, maka jujurlah dalam hati bahwa tak ada kesusahan atau derita yang berlangsung selamanya.
Masing-masing keduanya, datang silih berganti sebagai keutuhan kehidupan. Apa yang disebut bahagia atau susah setiap orang pasti merasakan. Tak hanya orang kaya yang dapat merasa bahagia, tapi seluruh umat manusia. Tak peduli miskin, bodoh, kuli, pegawai rendah, bahkan gembel sekali pun. Jika orang kaya merasa bahagia ketika berhasil membangun supermarket, maka si misikin bahagia ketika dia berhasil menyelesaikan pekerjaannya. Sementara si gembel merasa bahagia ketika dia berhasil mengumpulkan sampah-sampah. Tentu saja, rasa bahagia itu sama, yang membedakan hanya obyek atau hal yang membuat bahagia. Inilah di antara prinsip Allah.

Susah dan senang adalah kurikulum Allah yang selalu dihamparkan kepada setiap hamba-Nya. Mestinya kita selalu menerima pada setiap ketentuan yang Allah berikan. Bukankah menerima dengan kesungguhan hati merupakan prinsip utama islam yang berarti pasrah?

Masihkah kita mati-matian mengejar sesuatu yang tidak kekal? Bukankah hanya Allah semata yang Maha Kekal? Tapi mengapa kita masih mati-matian mencari atau menghindari sesuatu jika sebenarnya semua itu adalah pembelajaran dari-Nya? Mengalirlah dengan wajar dan alami. Belajarlah pada air yang rendah hati, berlapanglah seperti samudera, dan bersemangatlah menerima segala pelajaran dari-Nya seperti api yang tak kunjung padam. Akhirnya, (si)apa sebenarnya yang kita menangkan?